Keputusan Akhir Bukan Berarti Segalanya Berakhir

“Yuk Kak berangkat”, aku mengajak Uda agar segera berkemas menuju rumah ku untuk menemui Abang dan Adekku. Seperti kesepakatan sebelumnya, aku ingin agar kami dapat lebih mengenal kepribadian masing-masing melalui orang terdekat. Aku juga meminta Abang dan Adek untuk menilai Uda dari pandangan mereka agar aku bisa mendapatkan lebih banyak masukan.

“Oke.” Uda segera membereskan perlengkapan kerjanya dan mengikutiku pulang. Sesampai di rumah, aku mengenalkan Uda ke Abang dan Adek ku. Mereka bercakap-cakap cukup lama. Sekitar pukul 9 malam Uda pulang kembali ke kost nya.

*********************

“Jadi gimana mas menurut lw si Kak Dairi itu?” aku mulai bertanya ke Abangku.

“Gw nggak yakin sih win sabar atau nggak nya dia buat lw. Lw kan nomor satu maunya sabar. Nah yang gw liat tuh si Dairi bukan tipe yang lw cari. Bukan yang sabarnya banyak tapi yang bisa meletus sewaktu-waktu”.

“Kalau kamu gimana dek?” aku bertanya ke adekku.

“Sama kayak mas sih,” jawab adekku singkat.

Setelah pertemuan itu aku berpikir cukup lama hingga perasaanku menjadi gundah karena membuat Uda menunggu keputusanku. Ku bulatkan tekadku untuk membuat keputusan. Aku mengajak Ana untuk menemaniku menemui Uda sepulang kerja di salah satu sudut kantor.

“Jadi gini kak, setelah Aris pertimbangkan masak-masak, Aris memutuskan untuk mengakhiri proses perkenalan kita dan nggak melangkah lebih jauh lagi dari pertemanan kita saat ini,” kuberitahukan keputusanku ke Uda secara gamblang.

“Boleh tahu kenapanya?” Uda mempertanyakan alasan di balik keputusanku.

“Aris kan maunya suami Aris nanti yang sabbaarrr banget kan. Nah Aris nggak yakin kakak bisa kayak gitu ke Aris. Dari hasil ketemu Abang dan Adek Aris kemarin keliatannya kakak kayak ada yang dipendem dan macam gunung berapi  gitu yang bisa meletus-letus kapan aja amarahnya. Aris juga udah solat istikharah berkali-kali. Udah coba memikirkan gimana ini itunya. Udah minta pendapat keluarga. Tapi Aris tetap ragu. Kasihan di kakaknya kelamaan nunggu Aris”

“Hooo.. aku nggak ngerasa kayak gitu se. Tapi kalau menurut Aris begitu keputusannya, ya sudah. Aku terima.”

“Maaf ya kak. Makasih udah nerima keputusan Aris. Aris permisi dulu ya.” Aku bangkit dari kursi dan kembali ke ruang kerjaku bersama Ana. Aku menganggap urusan ini sudah selesai. Aku juga memberitahukan kepada Ayahku tentang Uda dan keputusan yang sudah aku ambil.

*********************

Hari demi hari berlalu. Di suatu subuh aku mendapatkan pesan yang panjang dari Uda melalui aplikasi chat yang biasa kupakai. Uda mengutarakan kembali tanggapannya atas keputusanku sebelumnya. Ia mengatakan bahwa aku tak perlu terburu-buru mengambil keputusan jika memang aku masih ragu atas pinangannya. Ia masih menginginkan aku menjadi menjadi istrinya kelak dengan kekurangan dan kelebihan di masing-masing pihak. Ia akan menunggu keputusanku jika memang aku masih membutuhkan waktu berpikir tanpa perlu merasa terbebani bagaimana jika ia terlalu lama menunggu. Namun jika memang keputusanku sebelumnya sudah mencapai final, ia akan menerima. Karena menurutnya suatu hal seperti pernikahan tidak akan menjadi baik jika dipaksakan.

Aku menghubungi ayahku dan bercerita mengenai percakapanku dengan Uda di aplikasi chat. Aku meminta Ayahku untuk menilai Uda kembali karena kupikir laki-laki tentu akan mengerti lebih baik laki-laki lainnya. Aku juga percaya jika Ayahku tentu mengetahui diriku dengan sangat amat baik sehingga bisa menilai kecocokan antara Uda dan aku.

Permintaanku agar Uda bertemu dengan Ayahku terlebih dahulu di Malang direspon oleh Uda dengan tiket pergi pulang Jakarta – Surabaya. Uda berniat ke Malang bersama salah satu temannya yang juga ingin mudik ke Jawa Timur. Dari surabaya, Uda akan ke Lumajang ke tempat tinggal temannya dan kemudian dilanjutkan touring ke Malang. Sedangkan aku, hanya duduk manis di rumah Tangerang sambil menunggu kabar dari Ayahanda saja nantinya jika Uda sudah bertemu dengan Ayahku.

Tiada lagi tempat untuk meminta ketetapan hati dan petunjuk untuk memutuskan yang terbaik selain dari berharap kepada Allah SWT. Kuserahkan urusanku sepenuhnya mengenai jodoh ini kepada Allah. Aku percaya Allah akan selalu menuntun hamba-Nya menuju hal baik jika memang hambanya bersungguh-sungguh.

Leave a comment